“Ikuji wo shinai otoko wo, chichi to wa yobanai”
“Ikuji wo
shinai otoko wo, chichi to wa yobanai”
(laki-laki yang tidak mengasuh anak-anaknya,
tidak bisa disebut seorang ayah)
~ Kampanye keayahan di Jepang
Jujur, aku setuju sekali dengan kutipan tersebut. Sangat tidak
pantas seorang laki-laki yang tidak peduli terhadap anak-anaknya disebut ayah.
Sang anakpun barangkali enggan memanggil ayah. Dan sang ayahpun barangkali malu
mendengarnya. Ya, itupun kalau si ayah masih punya rasa malu. Pahit memang,
tapi itulah faktanya. Anak yang diabaikan ayahnya mulai dari kecil akan
menyimpan memori tersebut sampai dia beranjak dewasa. Suatu saat memori pahit
itupun akan meledak pada waktunya. Dan itu akan menjadi cerita yang memilukan.
Menurut salah satu artikel yang deterbitkan Mitra Adiperkasa Edisi
ketujuh Januari 2012, ada beberapa prilaku yang muncul akibat ketiadaan ayah
secara psikologis dalam kehidupan anak. Pertama, rendahnya harga diri anak,
bertingkah kekanak-kanakan, kesulitan menetapkan identitas seksual, dan kurang
bisa mengambil keputusan.
“don’t speak!
I know what
you’re saying
so please stop explaining.
Don’t tell me cause it hurts.
Don’t speak!
I know what you’re thinking
I don’t need your reasons
Don’t tell me cause it hurts.”
Telepon selulerkupun berbunyi ketika aku sibuk mempersiapkan makan malam.
Akupun berhenti sejenak dan menjawab telepon tersebut.
“Assalamualaikum, bisa bicara dengan Via?” Ujar sipenelpon yang
belum ku ketahui namanya. Ya, wajar saja karena nomor baru.
“Ya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu pak!” ucapku. Sipeneleponpun
terdiam. Hening sejenak. “maaf, bapak siapa ya?” tanyaku penasaran.
“Sa…ya.. Sa…ya…Ru..di… Ba…pakmu nak.” Ucap sipenelepon terbata-bata.
Akupun terdiam dan tak mampu berkata. Akupun hening selama beberapa menit.
“Halo Via…” sambung bapak tersebut.
“Maaf, bapak salah sambung.” Kataku sembari menutup telepon. Akupun
teringat masa dua belas tahun yang silam dimana aku masih punya ayah yang
selalu menemaniku, mendengarkan ceritaku, dan selalu ada buatku. Tapi itu dulu
sebelum dia memutuskan untuk menikah lagi, lagi, dan lagi. Ya, dia terlalu
sibuk pada saat itu sehingga dia tidak memiliki waktu lagi buatku. Dua belas
tahun kulalui tanpa dia. Jangankan mengirim biaya sekolah, menanyakan keadaan
kupun tidak. Dua belas tahun adalah rentang waktu yang cukup panjang. Banyak masalah
hidup yang kulewati tanpa dia, tanpa seorang ayah. Sekarang tiba-tiba dia datang
lagi ketika aku hampir lupa kalau aku masih punya seorang ayah. Rasanya tidak
mudah untuk menerima kembali. Semua tidak akan selesai dengan kata maaf. Tiba-tiba
teleponku berbunyi lagi. Itupun dari nomor yang sama.
“ya, halo.” Sapaku dengan suara parau.
“Maafkan bapak nak!” ucap sipenelepon lirih. Akupun terdiam lagi.
Dua belas tahun tanpa kabar berita dan tiba-tiba hadir lagi. Sungguh, itu hal
yang tidak mudah diterima meskipun dia adalah ayahku sendiri. “maafkan bapak
nak! maafkan bapak nak! maafkan bapak nak! maafkan bapak nak! maafkan bapak
nak!” ucapnya berkali-kali.
“Cukup!” teriakku. “Tak ada yang perlu dimaafkan. Dua belas tahun
ini saya sudah terbiasa tanpa kehadiran anda. Jadi, saya mohon anda jangan
menghubungi saya lagi.” Ucapku ketus. Aku terpaksa menggunakan kata “anda”
karena lidahku kelu untuk memanggil dia ayah.
“Ampuni Bapak nak! Ampuni Bapak! “ ucapnya lagi dengan suara lirih.
“Kemana anda selama dua belas tahun ini? Kemana? Apakah anda peduli
dengan saya? Apakah anda pernah menanyakan keadaan saya? Apakah saya sakit,
sudah makan, ataupun sedih? Apakah anda tahu hari-hari yang saya lalui tanpa
anda? Dua belas tahun. Itu bukan waktu yang singkat.” Ujarku sambil menahan air
mata.
“Ampuni Bapak nak!” ucapnya dengan suara parau. Sepertinya dia
menangis.
“Terlambat. Semuanya sudah terlambat.” Ucapku sambil berurai air
mata. “sekarang lebih baik kita jalani hidup kita masing-masing. Saya sudah
terbiasa disini tanpa anda.” Ucapku terisak sembari menutup telepon.
Telepon selularku berbunyi lagi, masih dari nomor yang sama. Akupun
mengabaikan panggilan tersebut.
“Maafkan aku ya Allah, tapi aku belum bisa memaafkan beliau.” Batinku
lirih.
(I dedicated to the fathers in the whole wide worlds who don’t care
their children.)