Monday, April 28, 2014

Bring Back My Mano to Me

http://twicsy.com/i/89jE8c

"Having a pet is one of the greatest joys in life, and knowing how to care your pet is a must"
"Manoooooooooooooooo.....................................!!!!!!!!!" teriakku histeris ketika aku melihat Mano tergeletak tak berdaya di lantai.

Hari itu aku merasakan kepedihan yang teramat sangat. Hal ini bukanlah dikarenakan patah hati ataupun frustasi, akan tetapi hewan peliharaanku Mano mati. Bayangkan, ketika kamu mulai menyayangi hewan peliharaan kamu lalu kemudian kamu tak bisa melihatnya lagi. Perih, bukan?

Suatu hari, Risma, salah satu mahasiswi yang menyewa kamar kos di rumahku membawa seekor anak kucing yang malang. Risma membersihkan dan memberi makan kucing tersebut dengan penuh cinta kasih. Jujur, aku salut terhadap Risma. Awalnya, aku sedikit merasa jijik. Bukan apa-apa, tapi aku memang bukan pecinta hewan meskipun bapakku memiliki beberapa anjing peliharaan dan ibuku memiliki kucing. Aku hanya memperhatikan Risma tanpa bermaksud untuk bertanya.

"Aku pulang..." ucap adikku Maria. "Ops, itu anggota baru ya Ris? So cute!" tambah Maria lagi.
"Ya, Mar. Lucu ya!" kata Risma.
"Apanya yang lucu? Kucing kurus kok dibilang lucu." batinku.

Hari berganti, minggupun berlalu, aku hanya memperhatikan keasyikan Risma dan Maria dalam merawat kucing tersebut. Sedikitpun tak terlintas dibenakku untuk melebur dengan kesibukan baru mereka. Suatu hari, Risma pulang kampung dan Maria magang di salah satu Klinik Bersalin, merekapun meninggalkan pesan kepadaku untuk merawat Mano.

"Cut, jangan lupa ngasih makan Mano ya!" kata Maria, adikku.
"Ya, Cut." tambah Risma.
"No!" elakku. "It's none of my business!" tambahku lagi.

Entah mengapa mereka tiba-tiba sekompak itu. Tentunya akupun mengelak dari tugas yang menyulitkan itu. Aku tak mau merepotkan diri untuk mengurus Mano.

"Kenapa nggak minta tolong ke yang lain? Kayak Winda, Dian atau Icha. Kalian kan tau kalau aku nggak suka kucing." jelasku. Aku menyebut nama-nama penyewa lain.
"Ya udah, titip pesan deh!" kata mereka kompak.
"Alright." ucapku.

Seperginya mereka, akupun tak kunjung jua melihat penyewa kos lain. Aku tak tahu kalau merekapun pulang kampung. Akhirnya, dengan berat hati aku merawat dan menjaga Mano meskipun awalnya aku tak menikmati sedikitpun. Aku rasa itulah awal ketertarikanku kepada Mano. Betul kata pepatah: "Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta."

Sekembalinya mereka, akupun memutuskan untuk bergabung dalam merawat Mano si Kucing Malang. Manopun tumbuh menjadi kucing gendut nan lucu. Warna bulunyapun putih bersih. Cantik sekali.

Kembali ke cerita dimana Mano mati:

"Manoooooooooooooooo.....................................!!!!!!!!" aku masih menangis sambil memeluk Mano. Tanpa pikir panjang akupun menelepon Maria dan Risma guna memberitahukan kabar duka ini.

"Maria, aku cuma mau ngasih tau kalo Mano sudah tiada." isakku. Saat itu Maria masih praktek di salah satu klinik Bidan yang lokasinya sangat jauh dari rumah. Maria adalah mahasiswi kebidanan.

"Risma, udah tau?" tanya Maria tak kalah terisak.
"Belom." jawabku.
"Ya udah, biar aku yang ngasih tau." jawab Maria pilu.

Hari itu, hanya aku dan adik bungsuku Fredi di rumah. Aku tak menyadari kalau Fredi sudah lama memperhatikanku. Diapun tertawa.

"Aneh, kucing mati aja nangisnya segitu banget." ujar Fredi.
"Shut up!" ucapku. "Kamu nggak tau sih rasanya kehilangan." tambahku tersedu.
"Lebay deh." ucap Fredi sambil tertawa.
"Up to you. Sekarang yang terpenting kamu tolongin aku buat gali kuburan Mano." kataku terisak.

Siang yang terik, akhirnya Manopun dikubur di halaman depan rumahku. Itulah awal aku menyukai hewan dan itulah awal kehilangan hewan tersebut. "I love you Mano." batinku lirih





Biola itu di atas Lemariku

Iskandar Widjaja
"Music gives a soul to the universe, wings to the mind, flight to the imagination, and life to everything"

Aku terpaku sembari melihat biolaku. 4 Tahun ini dia bersamaku, tapi tak banyak yang kulakukan bersamanya. Dia hanya terdiam manis di atas lemariku. Dulu, aku menyisihkan uangku untuk mendapatkannya. Aku sedikit berjuang untuk memilikinya. Cukup sulit karena harga biola tak semurah kerupuk ataupun kuaci. Dan ketika aku mendapatkannya, aku hanya menyentuhnya beberapa kali. Aku tak begitu mengabaikannya. Mungkin kalau dia benda hidup, diapun akan memberontak karena merasa tak berarti dan tak dianggap.

Aku tak tahu kapan tepatnya aku jatuh cinta pada biola. Yang jelas, aku sangat menikmati setiap kali aku melihat seseorang memainkan biola, meskipun itu hanyalah seorang amatiran. Aku sangat mengapresiasi mereka yang pandai memainkannya. Jujur, akupun tak begitu paham tentang siapa pemain biola atau tokoh yang terkenal dalam memainkannya, dan aku juga tak begitu mengerti tentang jenis jenis biola itu sendiri. Yang penting, aku tahu kalau aku telah jantu cinta dan aku rasa itu sudah cukup.

Untuk memenuhi ketertarikanku, akupun menyisihkan uangku untuk memperolehnya. Lalu, akupun belajar, belajar, dan belajar. Aku sudah bisa kunci dasar, aku juga sudah bisa membaca not balok. Aku semakin tertarik untuk belajar memainkan lagu favoritku.

"Kak, aku kayaknya mau stop soalnya aku mau pindah." ucapku ke pelatih biolaku.
"Pindah kemana? Sayang banget, kamu hampir bisa Lovi. Tinggal diperhalus dikit. Nanti kalau kamu tidak latihan kamu bakal lupa loh." kata pelatihku.
"Iya, nggak apa-apa. Nanti aku usain latihan sendiri kak." ujarku tersenyum.

Hari itu akupun berhenti dan tak memainkannya lagi hingga detik ini. Sejak aku pindah, aku tak pernah menyentuhnya lagi. Aku terlalu sibuk dengan rutinitasku yang membosankan ini. Dia, si biola cantik itu hanya mengisi ruang kosong di kamarku. Biola itu diatas lemariku.